REPOST; Berpikir tentang Tujuan dan Target

Hal yang harus dilakukan pertama kali dalam berpikir tentang tujuan (ghayat, objectives) dan target (ahdaf, aims) adalah menentukan apa yang diinginkan, yakni menentukan target. Penentuan ini adalah suatu keharusan agar proses berpikir membuahkan hasil. Namun begitu, menentukan sesuatu yang diinginkan bukanlah hal yang mudah. Hal tersebut karena umat dan bangsa yang merosot tidak mengetahui apa yang mereka inginkan. Jarang sekali mereka mampu mengetahui apa yang mereka inginkan. Demikian pula individu-individu yang merosot taraf pemikirannya (bahkan banyak orang yang tinggi taraf pemikirannya) tidak mengetahui apa yang mereka inginkan. Bahkan, di antara mereka ada yang tidak mampu menentukan apa yang mereka inginkan.

Adapun bangsa dan umat, dikarenakan adanya penampakan (manifestasi) dari kehendak untuk berkumpul bersama –atau menurut bahasa mereka, naluri untuk berkumpul bersama (gharizah al-qathi`, instinct to flock together) yang terlihat dengan jelas dan menjadi pembentuk masyarakat– mereka menjadi didominasi oleh sikap taklid (meniru yang lain). Mereka juga didominasi oleh sikap tidak meneliti berbagai pemikiran dengan seksama. Maka dari itu, terbentuklah pada diri mereka pemikiran-pemikiran yang salah dan informasi-informasi yang tidak benar. Mereka terdorong untuk melakukan aktivitas tanpa menentukan tujuan, atau tanpa bermaksud menentukan tujuan. Karena itu mereka didominasi oleh sikap tidak menentukan tujuan.

Adapun individu-individu, dikarenakan mereka tidak menentukan tujuan, mereka pun tidak mempedulikan tujuan dan target untuk diri mereka. Karenanya, mereka melakukan proses berpikir tanpa ada suatu tujuan. Proses berpikir ini akhirnya tidak mendatangkan hasil dan mereka pun tidak mengarah pada suatu tujuan tertentu. Padahal menentukan tujuan dan target dalam berpikir adalah suatu keharusan agar proses berpikir membuahkan hasil. Sebab, berpikir atau berbuat tiada lain adalah untuk mewujudkan sesuatu yang tertentu, yaitu mewujudkan tujuan tertentu. Karena itulah kita akan melihat bahwa setiap manusia adalah pemikir tetapi tidak setiap manusia mampu merealisasikan target- targetnya.

Tujuan dan target berbeda-beda sesuai dengan perbedaan manusia. Sebagai contoh, umat yang merosot tujuannya adalah untuk bangkit. Umat yang maju tujuannya adalah merealisasikan seluruh jenis pemuasan kebutuhannya. Sebuah bangsa primitif tujuannya adalah ingin terus menjaga situasi tempat hidupnya. Bangsa yang maju tujuannya adalah memperbaiki keadaannya dan ingin memunculkan perubahan. Individu yang taraf pemikirannya merosot, tujuannya adalah memuaskan daya kehidupannya (ath-thaqah al-hayawiyah, life energy). Satu bangsa yang taraf pemikirannya tinggi tujuannya adalah memperbaiki tipe pemuasan kebutuhan mereka. Demikianlah, tujuan dan target akan berbeda-beda sesuai perbedaan manusia dan taraf berpikirnya.

Apa pun tujuan dan target dari suatu bangsa dan individu, kesabaran untuk merealisasikan tujuan dan usaha keras yang terus menerus untuk mencapainya hanya akan terwujud pada tujuan yang dekat dan target yang mudah. Sebagai contoh, pemuasan kebutuhan-kebutuhan (dilihat semata sebagai suatu pemuasan) merupakan tujuan yang mudah, atau bisa juga dibilang bahwa ia bukan tujuan yang mudah. Oleh karena itu, kemampuan untuk bersabar (dalam hal tersebut) hampir ada pada seluruh manusia meskipun kemampuan mereka berbeda-beda tingkatannya. Jika kita berusaha untuk mendapatkan makanan, berusaha memberi makan keluarga, berusaha memiliki sesuatu, mencari keamanan, dan yang semisalnya, maka kemampuan merealisasikan tujuan-tujuan seperti ini dapat dijumpai pada mayoritas manusia. Adapun jika kita berusaha untuk bangkit, atau membangkitkan bangsa kita, atau meninggikan kedudukan kita atau kedudukan bangsa dan umat kita, maka ini adalah tujuan-tujuan yang membutuhkan kesabaran dan kesungguhan yang terus menerus. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Bisa jadi kita sudah mulai berusaha, tapi mungkin saja kita gagal merealisasikan tujuan karena kita merasa lelah atau kehilangan kesabaran. Mungkin juga kita sudah mulai berusaha tapi kita tidak serius memulainya, lalu kita melangkah secara tidak serius, dan tetap terus melangkah. Tentu saja kita tidak akan bisa merealisasikan tujuan walaupun kita tidak merasa capai atau tidak kehilangan kesabaran. Hal tersebut karena kita memang tidak sungguh-sungguh menjalankan usaha tersebut. Padahal yang dibutuhkan pertama kali untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang jauh dan sulit seperti itu adalah keseriusan, lalu kesabaran, dan berikutnya usaha yang terus menerus.

Individu lebih mampu bersabar daripada kelompok (bangsa dan umat). Hal tersebut karena pandangan individu lebih jelas dan lebih kuat daripada pandangan kelompok, mengingat berkumpulnya manusia akan melemahkan proses berpikir dan melemahkan pandangan mereka. Maka dari itu, pandangan satu orang akan lebih kuat daripada pandangan dua orang. Setiap kali bilangan semakin besar, akan semakin lemah pandangan.

Karena itu tidak benar meletakkan tujuan-tujuan yang jauh bagi suatu bangsa karena mereka tidak akan berusaha untuk merealisasikannya. Jika pun mereka berusaha merealisasikannya, mereka tidak akan berusaha dengan serius dan tidak akan sampai pada tujuan. Dari sinilah, maka tujuan yang diletakkan untuk suatu bangsa haruslah merupakan tujuan yang dekat dan mungkin untuk direalisasikan. Ini harus dilakukan meskipun harus menetapkan tujuan-tujuan yang dekat sebagai satu tahapan dari beberapa tahapan. Dengan demikian, bila mereka telah mampu merealisasilkan satu tahapan, mereka akan bertolak untuk merealisasikan tahapan selanjutnya, dan seterusnya. Hal ini terjadi karena kelompok lebih mudah untuk melihat apa yang mungkin dilakukan dibandingkan dengan individu. Kelompok juga mempunyai kemampuan yang lebih rendah dalam menanggung kesulitan besar daripada individu. Maka dari itu, sesuatu yang mungkin untuk diwujudkan secara rasional, tidak dapat dijadikan sebagai tujuan bagi suatu bangsa, melainkan sesuatu yang mungkin untuk diwujudkan secara faktual, yaitu sesuatu yang dapat mereka lihat dan mereka usahakan untuk direalisasikan. Adapun individu, secara umum mereka mampu untuk melihat, bahwa apa yang mungkin secara rasional adalah mungkin secara faktual. Individu juga mampu melihat sesuatu yang jauh. Individu lebih bersabar untuk menanggung kesulitan, lebih mampu menghadapi hambatan, serta lebih mampu untuk berjalan pada tahapan yang jauh.

Hanya saja, tujuan dan target yang diletakkan baik untuk suatu umat dan bangsa maupun untuk individu, realisasinya tidak boleh membutuhkan waktu bergenerasi-generasi, kemampuan di luar kemampuan manusia, dan sarana- sarana yang tidak ada atau tidak mungkin diadakan. Sebaliknya tujuan harus mungkin direalisasikan oleh generasi yang sedang berusaha merealisasikannya, harus mungkin direalisasikan dengan upaya manusia biasa, dan sarana- sarananya pun telah ada atau mungkin untuk diadakan.

Hal tersebut karena tujuan merupakan suatu target yang akan diusahakan oleh pihak yang berusaha itu sendiri. Mereka tidak akan berusaha merealisasikannya jika target itu jelas-jelas tidak akan pernah bisa direalisasikan. Selama manusia ingin berusaha untuk mewujudkan tujuan, pasti dia membutuhkan sarana-sarana yang akan menjadi perantara untuk merealisasikannya. Jika dia tidak mempunyai sarana, maka dia tidak akan pernah bisa mengusahakannya, walaupun dia berpura-pura berusaha atau menipu dirinya bahwa dia sedang berusaha. Manusia juga akan berusaha dengan kekuatannya sebagai manusia. Jika kekuatan tersebut tidak cukup untuk berusaha, dia tidak akan pernah berusaha sama sekali, sebab manusia memang tidak akan sanggup diberi beban di luar kemampuannya. Bahkan manusia tidak akan mampu beraktivitas di luar kemampuannya. Karena itu bagaimana pun jauhnya, haruslah suatu tujuan itu termasuk sesuatu yang mungkin untuk diwujudkan oleh orang yang sedang berusaha, dengan kemampuannya yang biasa, dan dengan sarana-sarana yang ada padanya.

Jadi, tujuan dari proses berpikir harus ditentukan, sebagaimana tujuan dari suatu aktivitas juga harus ditentukan. Tujuan tersebut harus bisa dilihat oleh mata kepala atau mata hati (akal), dan harus memungkinkan untuk diwujudkan baik terwujud menurut pertimbangan akal maupun pertimbangan fakta. Jika tidak demikian, ia tidak bisa lagi disebut tujuan. Jika proses berpikir dan aktivitas individu harus mempunyai tujuan, maka bangsa dan umat pun harus mempunyai tujuan, atau beberapa tujuan. Namun tujuan suatu bangsa dan umat tidak bisa berupa tujuan yang jauh, melainkan harus berupa tujuan yang dekat. Semakin dekat suatu tujuan dan semakin banyak yang bisa diwujudkan, akan semakin baik dan semakin dekat membuahkan hasil. Tujuan yang demikian juga akan lebih mungkin untuk dipikirkan dan dilaksanakan. Memang benar, tidak dapat dibayangkan bahwa suatu bangsa dan umat akan membuat sendiri tujuan-tujuannya atau semuanya terlibat dalam menetapkan target-target, tetapi di tengah bangsa dan umat tersebut tersebar berbagai pemikiran. Tentu mereka pun mengambil berbagai opini dan meyakini berbagai keyakinan, sehingga pemikiran-pemikiran tersebut menjadi pemikiran mereka, opini-opini tersebut menjadi opini mereka, dan keyakinan-keyakinan tersebut menjadi keyakinan mereka. Demikian juga mereka telah didominasi oleh tujuan-tujuan tertentu, yang mungkin terbentuk akibat berbagai pemikiran, opini dan keyakinan tersebut, atau akibat pengalaman-pengalaman hidup, atau akibat adanya hambatan memperoleh hak-hak atau pemuasan kebutuhan yang kurang. Kemudian, terbentuklah tujuan-tujuan pada bangsa atau umat tersebut, yang mungkin berupa penghilangan hambatan memperoleh hak-hak, atau perbaikan pemuasan kebutuhan. Jadi, bangsa atau umat sebenarnya mempunyai tujuan-tujuan, meskipun keseluruhannya tidak mampu menetapkan tujuan-tujuan. Hanya saja semua tujuan tersebut tentu termasuk tipe tujuan yang mungkin untuk direalisasikan secara nyata (faktual), bukan termasuk tipe tujuan yang mungkin direalisasikan secara akal (rasional) dan tidak bisa disaksikan secara nyata sebagai tujuan yang mungkin direalisasikan secara faktual.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah membedakan antara tujuan dengan cita-cita tertinggi (al-matsalul a’la, ideal). Cita-cita tertinggi adalah tujuan dari segala tujuan. Pada cita-cita tertinggi itu hanya disyaratkan adanya usaha untuk meraih dan mewujudkannya. Jadi tidak disyaratkan harus berupa sesuatu yang mungkin diwujudkan secara nyata. Tetapi disyaratkan harus berupa sesuatu yang mungkin diwujudkan secara akal.

Cita-cita tertinggi bukanlah tujuan, meskipun ia sendiri adalah suatu tujuan. Perbedaannya dengan tujuan adalah bahwa tujuan harus diketahui sebelum pelaksanaan aktivitas dan harus selalu diketahui selama pelaksanaan aktivitas. Tujuan juga harus diusahakan dengan sungguh-sungguh dan terus menerus direalisasikan sampai betul-betul terwujud. Adapun cita- cita tertinggi, cukup hanya diperhatikan keberadaannya selama kita berpikir dan beraktivitas. Dan seluruh pemikiran dan aktivitas yang ada dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita tertinggi tersebut. Sebagai contoh, menggapai ridha Allah, adalah cita-cita tertinggi kaum Muslim. Meski ada sebagian kaum Muslim yang menjadikan masuk surga sebagai cita-cita tertinggi atau selamat dari neraka sebagai cita-cita tertinggi. Namun begitu, kedua hal tersebut dan yang sejenisnya, meskipun bisa dijadikan tujuan dari segala tujuan, tetapi tidak bisa disebut cita-cita tertinggi. Dua tujuan tersebut merupakan tujuan dari tujuan-tujuan sebelumnya, tetapi setelah itu masih ada tujuan lain. Sedangkan cita-cita tertinggi, ia termasuk tujuan dari segala tujuan, tetapi setelah itu tidak terdapat tujuan lagi. Tujuan dari segala tujuan yang tidak ada lagi tujuan setelahnya adalah menggapai keridhaan Allah. Karena itu, cita-cita tertinggi bagi seorang muslim adalah menggapai keridhaan Allah.

Maka dari itu, kadang dilantunkan ungkapan berikut tentang orang-orang yang takwa lagi saleh: “Hamba [Allah] yang paling baik adalah Suhaib. Kalau sekiranya dia tidak takut kepada Allah, niscaya dia tidak akan berbuat maksiat kepada Allah.” Dikatakan demikian, karena tujuan Suhaib tidak berbuat maksiat bukanlah takut kepada Allah, yakni bahwa Allah akan mengazabnya karena berbuat maksiat. Tetapi tujuannya adalah mencapai ridha Allah. Maka kalau sekiranya pada dirinya tidak terdapat rasa takut kepada Allah, dia tidak akan berbuat maksiat. Karena dia tidak berbuat maksiat adalah karena ingin mencari ridha Allah, bukan karena takut pada azab Allah. Dengan demikian, cita-cita tertinggi bagi kaum muslimin adalah ridha Allah, bukan masuk surga dan bukan pula selamat dari neraka.

Walhasil, meskipun cita-cita tertinggi merupakan suatu tujuan –sebagai tujuan dari segala tujuan– tetapi ia berbeda dengan tujuan dan target. Maka, yang dikatakan berpikir dan beraktivitas tentang tujuan di sini –bahwa tujuannya harus ditentukan– maksudnya bukanlah cita-cita tertinggi, namun tujuan yang bisa terwujud secara nyata, meskipun di belakangnya masih ada tujuan atau bahkan tujuan-tujuan lain. Jadi, tujuan haruslah ditentukan dan harus berupa sesuatu yang mungkin diwujudkan oleh orang yang sedang berusaha mewujudkannya, bukan oleh generasi-generasi yang akan datang. Sarana-sarananya harus bisa didapatkan dengan mudah atau kemungkinan bisa didapatkan dengan mudah secara praktis dan nyata. Tujuan bukanlah cita-cita tertinggi, melainkan target yang hendak dicapai. Karena itu, berpikir tentang tujuan haruslah merupakan pemikiran yang bersifat nyata dan praktis. Maksudnya, suatu tujuan haruslah berupa sesuatu yang mungkin diwujudkan oleh orang yang sedang mengusahakannya.

Dalam kaitan ini mungkin ada penyataan dan pertanyaan, yaitu umur umat tidak bisa diukur dengan satu generasi atau bahkan beberapa generasi, lalu merancang masa depan umat haruslah berjangka panjang, dalam arti rancangan itu akan bisa diwujudkan oleh generasi-generasi yang akan datang. Bagaimana bisa dikatakan bahwa tujuan harus direalisasikan oleh orang yang sedang mengusahakannya?

Jawabnya adalah: umur umat tidaklah diukur dengan generasi-generasi, juga tidak diukur dengan ukuran ratusan tahun seperti yang diduga, tetapi umur umat diukur dengan dekade (dasawarsa), sebab dalam waktu satu dekade, umat dapat berubah dan berpindah dari satu keadaan menuju keadaan lain. Sebuah pemikiran yang bersifat praktis: hal tersebut mungkin untuk diberikan kepada sebuah umat dan digantungkan pada satu generasi saja, meskipun terjadi perlawanan (resistensi). Namun begitu, hal tersebut tentu dengan syarat, yaitu harus ada kesungguhan dalam berpikir dan beraktivitas. Maka dari itu, sebuah umat tidak membutuhkan waktu bergenerasi- generasi atau ratusan tahun. Paling tidak memerlukan waktu satu dekade agar seluruh pemikiran dan aktivitas bisa membuahkan hasil pada sebuah umat, sebab dalam satu dekade dapat terjadi perubahan umat. Apabila umat tersebut tunduk kepada musuhnya maka mereka membutuhkan lebih dari satu dekade, tetapi tidak akan sampai membutuhkan lebih dari tiga dekade jika terjadi perlawanan. Karena itu buah dari suatu pergerakan, aktivitas, atau pemikiran pada diri umat harus dihasilkan oleh orang-orang yang sedang mengusahakan terwujudnya pemikiran dan aktivitas tersebut, bukan oleh generasi-generasi yang datang setelah mereka. Jadi, suatu tujuan haruslah termasuk sesuatu yang bisa diwujudkan oleh orang yang sedang mengusahakannya. Inilah syarat berpikir tentang tujuan. Tidak bisa disebut tujuan, jika ia tidak bisa diwujudkan sendiri oleh orang-orang yang sedang mengusahakannya.

Adapun yang disebut dengan pembuatan program bagi suatu umat, yang mengharuskan generasi-generasi mendatang mewujudkan program-program tersebut seperti yang dilakukan oleh pelbagai bangsa dan umat yang dinamis, maka jenis program tersebut sebenarnya bukanlah tujuan. Bahkan bukan merupakan pemikiran-pemikiran yang tertentu, melainkan hanya merupakan garis- garis besar (khuthuth ‘aridhah, broad guidelines) dan pemikiran-pemikiran umum.

Program tersebut disusun sebagai sebuah asumsi, bukan sebagai tujuan. Atas dasar itu, yang semisal ini tidak bisa disebut tujuan, tetapi hanya disebut pemikiran-pemikiran umum, itu pun kalau diasumsikan ia ada, yang dapat dimaksud tujuan hanyalah suatu hal yang akan diwujudkan oleh orang yang sedang berusaha. Inilah yang disebut tujuan dan inilah berpikir tentang tujuan. Selain dari itu hanyalah asumsi dan teori, bukan berpikir tentang tujuan.

Dikutip dari:

Taqiyuddin An-Nabhani. Hakekat Berpikir. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003.


Since you've made it this far, sharing this article on your favorite social media network would be highly appreciated 💖! For feedback, please ping me on Twitter.

Published