REPOST; Shalat Dhuha

Setiap orang pasti senang untuk melakukan amalan sedekah. Bahkan kita pun diperintahkan setiap harinya untuk bersedekah dengan seluruh persendian. Ternyata ada suatu amalan yang bisa menggantikan amalan sedekah tersebut yaitu shalat dhuha.

Keutamaan Shalat Dhuha

Banyak yang belum memahami keutamaan shalat yang satu ini. Ternyata shalat Dhuha bisa senilai dengan sedekah dengan seluruh persendian. Shalat tersebut juga akan memudahkan urusan kita hingga akhir siang. Ditambah lagi shalat tersebut bisa menyamai pahala haji dan umrah yang sempurna. Juga shalat Dhuha termasuk shalat orang-orang yang kembali taat. Di antara keutamaan shalat Dhuha adalah sebagai berikut.

1. Mengganti sedekah dengan seluruh persendian

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at” (HR. Muslim no. 720).

Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian. ‘Aisyah pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ

“Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360 persendian” (HR. Muslim no. 1007).

Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha sebagaimana disebutkan pula dalam hadits dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَبِى بُرَيْدَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « فِى الإِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاَثُمِائَةِ مَفْصِلٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً ». قَالُوا فَمَنِ الَّذِى يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « النُّخَاعَةُ فِى الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا أَوِ الشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ

“Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.” (HR. Ahmad, 5: 354. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirohi)

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at” (Syarh Muslim, 5: 234).

Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus” (Nailul Author, 3: 77).

2. Akan dicukupi urusan di akhir siang

Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ

“Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” (HR. Ahmad (5/286), Abu Daud no. 1289, At Tirmidzi no. 475, Ad Darimi no. 1451 . Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Penulis ‘Aunul Ma’bud –Al ‘Azhim Abadi- menyebutkan, “Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga dimaksudkan bahwa shalat Dhuha dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari itu.” (‘Aunul Ma’bud, 4: 118)

At Thibiy berkata, “Yaitu engkau akan diberi kecukupan dalam kesibukan dan urusanmu, serta akan dihilangkan dari hal-hal yang tidak disukai setelah engkau shalat hingga akhir siang. Yang dimaksud, selesaikanlah urusanmu dengan beribadah pada Allah di awal siang (di waktu Dhuha), maka Allah akan mudahkan urusanmu di akhir siang.” (Tuhfatul Ahwadzi, 2: 478).

3. Mendapat pahala haji dan umrah yang sempurna

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ». قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ

“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi no. 586. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Al Mubaarakfuri rahimahullah dalam Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi (3: 158) menjelaskan, “Yang dimaksud ‘kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at’ yaitu setelah matahari terbit. Ath Thibiy berkata, “Yaitu kemudian ia melaksanakan shalat setelah matahari meninggi setinggi tombak, sehingga keluarlah waktu terlarang untuk shalat. Shalat ini disebut pula shalat Isyroq. Shalat tersebut adalah waktu shalat di awal waktu.”

4. Termasuk shalat awwabin (orang yang kembali taat)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يحافظ على صلاة الضحى إلا أواب، وهي صلاة الأوابين

“Tidaklah menjaga shalat sunnah Dhuha melainkan awwab (orang yang kembali taat). Inilah shalat awwabin.” (HR. Ibnu Khuzaimah, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib 1: 164). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Awwab adalah muthii’ (orang yang taat). Ada pula ulama yang mengatakan bahwa maknanya adalah orang yang kembali taat” (Syarh Shahih Muslim, 6: 30).

Hukum Shalat Dhuha

Mengenai pensyari’atan shalat Dhuha disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ

“Mereka bertasbih di waktu petang dan pagi” (QS. Shaad: 18). Kata Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud isyroq di sini adalah shalat Dhuha. (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 84)

Mengenai maksud Ibnu ‘Abbas di atas terlihat dalam hadits-hadits ‘Abdullah bin Al Harits, di mana ia berkata,

أن ابن عباس كان لا يصلي الضحى حتى أدخلناه على أم هانئ فقلت لها : أخبري ابن عباس بما أخبرتينا به ، فقالت أم هانئ : « دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم في بيتي فصلى صلاة الضحى ثمان ركعات » فخرج ابن عباس ، وهو يقول : « لقد قرأت ما بين اللوحين فما عرفت صلاة الإشراق إلا الساعة » ( يسبحن بالعشي والإشراق) ، ثم قال ابن عباس : « هذه صلاة الإشراق

Ibnu ‘Abbas pernah tidak shalat Dhuha sampai-sampai kami menanyakan beliau pada Ummi Hani, aku mengatakan pada Ummi Hani, “Kabarilah mengenai Ibnu ‘Abbas.” Kemudian Ummu Hani mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha di rumahku sebanyak 8 raka’at.” Kemudian Ibnu ‘Abbas keluar, lalu ia mengatakan, “Aku telah membaca antara dua sisi mushaf, aku tidaklah mengenal shalat isyroq kecuali sesaat.” (Allah berfirman yang artinya), “Mereka pun bertasbih di petang dan waktu isyroq (waktu pagi)” (QS. Shaad: 18). Ibnu ‘Abbas menyebut shalat ini dengan shalat isyroq. (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 4: 59. Syaikh Bazmoul dalam Bughyatul Mutathowwi’ mengatakan bahwa atsar ini hasan ligoirihi, yaitu dilihat dari jalur lainnya).

Hadits Abu Hurairah juga menunjukkan sunnahnya shalat Dhuha di mana beliau berkata,

أَوْصَانِى خَلِيلِى – صلى الله عليه وسلم – بِثَلاَثٍ صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى ، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ

“Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga nasehat padaku: (1) berpuasa tiga hari setiap bulannya, (2) melaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan (3) berwitir sebelum tidur.” (HR. Bukhari no. 1981 dan Muslim no. 721.)

Dalam riwayat Bukhari lainnya digunakan lafazh,

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

“Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga nasehat padaku yang tidak kutinggalkan hingga aku mati: (1) berpuasa tiga hari setiap bulannya, (2) belaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan (3) berwitir sebelum tidur.” (HR. Bukhari no. 1178).

Jumlah Raka’at Shalat Dhuha

Jumlah raka’at minimal shalat Dhuha adalah 2 raka’at. Sedangkan menurut Ar Rofi’i, raka’at maksimalnya adalah 12 raka’at. Sedangkan menurut Imam Nawawi dalam Syarh Al Muhaddzab, jumlah raka’at maksimal shalat Dhuha adalah 8 raka’at. Inilah pendapat kebanyakan ulama. Sebagai dalil penguat adalah hadits Ummu Hani (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 84).

Dari Ummu Hani binti Abi Tholib radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَامَ الْفَتْحِ ، فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ ، وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ قَالَتْ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ « مَنْ هَذِهِ » . فَقُلْتُ أَنَا أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِى طَالِبٍ . فَقَالَ « مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ » . فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ ، قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِىَ رَكَعَاتٍ ، مُلْتَحِفًا فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، زَعَمَ ابْنُ أُمِّى أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلاً قَدْ أَجَرْتُهُ فُلاَنَ بْنَ هُبَيْرَةَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ » . قَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ وَذَاكَ ضُحًى

“Aku pernah menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun penaklukan kota Mekkah, aku menemukan beliau sedang mandi. Dan ketika itu putri beliau, Fathimah menutupi diri beliau dan Fathimah berkata setelah kuberi salam padanya. Kemudian Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata, “Siapa ini?” “Aku adalah Ummu Hani binti Abi Tholib”, jawabku. Beliau pun bersabda, “Selamat datang wahai Ummu Hani.” Ketika beliau selesai dari mandinya, beliau berdiri dan melaksanakan shalat 8 raka’at dengan memakai satu pakaian. Ketika beliau selesai dari shalatnya, aku berkata pada beliau, “Wahai Rasulullah, anak ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Tholib) menyangka bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin Hubairah.” Maka beliau bersabda, “Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani.” Ummu Hani berkata, “Demikianlah shalat Dhuha.” (HR. Bukhari no. 357 dan Muslim no. 336). Ini menjadi dalill bahwa maksimal raka’at shalat Dhuha adalah 8 raka’at.

Dalam kitab Al Iqna’ (1: 212) disebutkan bahwa pelaksanaan shalat Dhuha disunnahkan dilakukan dengan tiap dua raka’at salam.

Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha

Syaikh Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Waktu shalat Dhuha adalah mulai dari matahari meninggi hingga waktu zawal (matahari bergeser ke barat). Waktu afdholnya ketika telah masuk ¼ siang.” (At Tadzhib, hal. 50).

Ar Rofi’i mengatakan bahwa waktu pelaksanaan shalat Dhuha adalah mulai dari matahari meninggi (setinggi tombak) hingga istiwa’ (matahari di atas kepala, di pertengahan). Hal ini juga dikatakan oleh Ibnu Ar Rif’ah.

Imam Nawawi dalam Ar Roudhoh mengatakan bahwa waktu pelaksanaan shalat Dhuha menurut ulama Syafi’iyah dimulai dari terbitnya matahari, namun disunnahkan dimulai ketika matahari meninggi.

Waktu terbaik (mukhtaar) untuk shalat Dhuha adalah ketika telah masuk ¼ siang. Imam Nawawi pun menguatkan hal ini (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 84).

Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan,

أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ ».

Zaid bin Arqom pernah melihat suatu kaum sedang melaksanakan shalat Dhuha, ia berkata, “Yang mereka tahu bahwa shalat di selain waktu ini lebih afdhol. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat awwabin yaitu ketika keadaan begitu panas.” (HR. Muslim no. 748).

Shalat Dhuha dalam hadits ini disebut dengan shalat awwabin, yaitu shalat orang yang kembali taat sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah. Waktu afdhol shalat Dhuha adalah ketika sudah begitu siang diperkirakan telah masuk ¼ siang, yaitu keadaannya disebut dengan tarmadhul fishool, yaitu saat pasir mulai panas membakar dan anak unta meninggalkan induknya.

Niat

Berdasarkan perkataan Ibnul Qayyim, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memulai shalatnya, beliau mengucapkan takbir ‘Allahu akbar’. Beliau tidak mengucapkan kata-kata lainnya sebelum itu. Beliau pun tidak melafazhkan niat sama sekali. Beliau tidak pernah mengatakan ketika memulai shalat, “Aku shalat karena Allah menghadap kiblat sebanyak empat raka’at sebagai imam atau makmum.” Beliau juga tidak pernah mengatakan shalat tersebut dikerjakan tepat waktu ataukah sebagai qodho’. Begitu pun beliau tidak mengatakan bahwa shalat tersebut dikerjakan di waktu fardhu. Ini semua termasuk sepuluh amalan yang tiada tuntunan. Tidak ada lafazh hadits yang menukil masalah pengucapan niat baik dengan sanad shahih maupun dho’if, baik dengan riwayat yang bersambung (musnad) atau yang terputus (mursal). Bahkan tidak ada anjuran melafazhkan niat dari para sahabat maupun tabi’in, begitu pula imam empat madzhab yang terkemuka (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad). Sebagian ulama Syafi’iyah telah rancu dengan perkataan Imam Syafi’ tentang shalat bahwa shalat tersebut tidak seperti puasa dan seseorang baru memulainya hanya dengan dzikir. Ulama Syafi’iyah menyangka bahwa yang dimaksud dzikir tadi adalah melafazhkan niat. Namun ternyata tidak, karena yang dimaksud Imam Syafi’i sebenarnya dengan dzikir adalah bacaan Allahu akbar, karena shalat hanya bisa dimulai dengan takbiratul ihram. Tanpanya, ibadah shalat tidaklah sah. Karena Imam Syafi’i tidak mungkin sama sekali memerintahkan sesuatu yang tidak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kerjakan dalam satu shalat. Hal ini pun tidak pernah dicontoh oleh khulafaur rasyidin dan para sahabat. Seandainya ada dalil tentang masalah niat ini tentu akan diterima.” (Zaadul Ma’ad, 1: 194).

Jadi, niat cukup dalam hati karena niat sendiri berarti ilmu atau mengetahui. Maka setiap orang yang mengetahui melakukan ibadah shalat Dhuha -misalnya-, maka ia sudah disebut berniat. Tidak perlu ada lafazh niat di lisan karena tidak ada satu dalil dari Al Qur’an dan hadits pun yang membicarakan anjuran tersebut. Masalah niat shalat Dhuha juga berlaku bagi shalat dan ibadah lainnya.

Keterangan:

Waktu matahari meninggi (setinggi tombak), sekitar 10 menit setelah matahari terbit. Silakan diperkirakan untuk setiap daerah karena waktu terbitnya matahari di setiap daerah berbeda-beda. Kalau matahari terbit jam 06.00, maka shalat Dhuha bisa dimulai pukul 06.10. Demikian keterangan para ulama yang sering penulis dengar dan baca.
Waktu terbaik shalat Dhuha adalah ketika telah masuk ¼ siang, berarti sekitar jam 7 pagi ke atas.

Dikompilasi dari:

  1. Keutamaan Shalat Duha. http://rumaysho.com/shalat/keutamaan-shalat-dhuha-2845, diakses pada 7 Juli 2014, pukul 21.35 WIB.
  2. Niat Shalat Duha. http://rumaysho.com/shalat/niat-shalat-dhuha-3329, diakses pada 27 Juni 2014, pukul 10.11 WIB.
  3. Shalat Dhuha yang Begitu Menakjubkan, http://rumaysho.com/shalat/shalat-dhuha-yang-begitu-menajubkan-708, diakses pada 8 Juli 2014, pukul
  4. Shalat Muakkad (2), Shalat Dhuha. http://rumaysho.com/shalat/shalat-muakkad-2-shalat-dhuha-2966, diakses pada 8 Juli 2014, pukul 05.33 WIB.

Since you've made it this far, sharing this article on your favorite social media network would be highly appreciated 💖! For feedback, please ping me on Twitter.

Published